Tahdzib Al-Ahkam
Menurut fiqih kalangan Muslim Ahlusunnah wal-Jama'ah dengan berdasarkan Hadits shahih, bahwasanya jima' (penetrasi seksual) terhadap istri melalui lubang duburnya adalah dosa besar, bahkan sampai ke derajat bentuk kekufuran. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى حَائِضًا، أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا، أَوْ كَاهِنًا، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa yang berjima’ dengan istri yang haid atau berjima’ dengan istri melalui duburnya atau mendatangi seorang dukun, maka dia telah kufur dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Dalam teks Hadits lain: “Allah tidak akan melihat orang laki-laki yang bersetubuh dengan sesama laki-laki atau orang laki-laki yang menyetubuhi perempuan di duburnya”

Jima’ bersama istri melalui dubur adalah dosa besar, terlebih-lebih hal tersebut dilakukan di bulan Ramadhan saat berpuasa. Tentu dosanya lebih besar lagi menurut Islam.

Namun berbeda menurut ajaran Syi’ah Imamiyah 12. Bagi Syi’ah, tidaklah berdosa jima’ dengan istri melalui lubang pembuangan kotoran tersebut, bahkan saat bulan Ramadhan, asalkan keduanya saling ridha dan saling menyukai penetrasi melalui dubur.

Disebutkan dalam kitab mu’tamad (referensi atau literatur) keagamaan Syi’ah, berjudul “Tahdzib Al-Ahkam”, bahwa:
الرجل يأتي المرأة في دبرها وهي صائمة قال: لا ينقض صومها وليس عليها غسل

“Seseorang jima’ bersama istrinya melalui duburnya sedangkan dia sedang berpuasa, Abu Abdillah alaihissalamberkata: “Puasanya tidak batal dan dia tidak wajib mandi” (Tahdzib Al-Ahkam 4/319)

Disebutkan dalam riwayat versi Syi’ah yang lain, Abu Abdillah (tokoh yang diklaim sebagai imam maksum ke-6 Syi'ah) berkata:
إذا اتى الرجل المرأة في الدبر وهي صائمة لم ينقض صومها وليس عليها غسل

“Jika seseorang lelaki jima’ bersama istrinya melalui duburnya dan sedangkan dia sedang melakukan puasa, maka puasanya tidak batal dan dia tidak wajib mandi” (Tahdzib Al-Ahkam 4/319)
Dengan mengetahui bahwa jima’ bersama istri melalui kemaluan istri akan membatalkan puasa, maka diambil kesimpulan bahwa lebih baik mendatangi istri melalui duburnya. Dimana hal tersebut tidaklah berdosa, dan tidak membatalkan puasa, dan tidak wajib mandi bagi Syi’ah.
Seorang tokoh Syi'ah bernama Muhsin al-Ushfur, ketika ditanya oleh seorang perempuan:
انا فتاه متزوجه حديثا ورغبتي بالجنس قويه لدرجة أني لا أكتفي بالمجامعه من القبل فأطلب من  زوجي بمجامعتي من الدبر فيجامعني برضاه علما باني أكتفي بهاذا الحد. أما السؤال فهوماحكم الجماع من الخلف؟ وماهي الكفاره المترتبه عليه؟ وهل يعد طلبي هذا إهانه في حق زوجي ؟

“Aku seorang wanita muda yang baru saja menikah, dan keinginanku terhadap seks sangatlah besar sampai ke derajat yang mana aku tidak puas dan tidak merasa cukup jika jima’ hanya melalui lubang kemaluanku. Maka aku meminta kepada suamiku untuk menjima’i diriku melalui lubang duburku. Maka dia menjima’iku melalui dubur dengan keridhaannya karena dia tahu bahwa aku merasa cukup dan puas jika dia menjima’iku juga melalui dubur.
Adapun pertanyaannya, apa hukum jima’ melalui dubur? Dan apa kaffarah yang terjadi? Dan apakah permintaanku ini termasuk penghinaan terhadap hak suamiku?”
Muhsin al-Ushfur menjawab:
المشهور بين فقهاء الشيعة كما سبق وان ذكرنا هو جواز جماع الزوج للزوجة في الدبر إذا رضيت هي به أي بشرط ان يكون برضاها وموافقتها وعدم ترتب اذية وضرر عليها وهذا الجواز على كراهة .

“Yang populer dari para ahli fiqh syi’ah sebagaimana yang telah kami sebutkan. Bahwasanya diperbolehkan jima’ bersama istri melalui dubur jika sang istri ridha. Maksudnya adalah sang istri ridha dan telah sepakat maka diperbolehkan, dan jika tidak menimbulkan penyakit dan bahaya terhadap istrinya, maka diperbolehkan walaupun hal ini makruh” (Fatwa lihat di situs al-Ushfur langsung: http://al-asfoor.com/fatawa/index.php?id=587)
Ali Sistani, ulama besar Syi’ah di Irak juga ditanya perihal perduburan dalam fiqih Syi'ah:
هل الجماع من الدبر حرام أم حلال؟ ولماذا؟ وهل الدبر مكان خروج الفضلات والقبل هو مكان خروج البول؟

“Apakah jima’ melalui dubur haram atau halal? Dan mengapa? Apakah dubur tempat keluarnya kotoran dan kemaluan tempat keluarnya air seni?”(*)
Al-Sistani menjawab:
الجماع من الدبر مكروه ولكنه جائز مع رضا الزوجة والمراد بالدبر هو ما ذكرت

“Jima’ melalui dubur adalah makruh. Akan tetapi jika sudah diridhai oleh istri maka diperbolehkan (tidak makruh lagi). Dan dubur adalah tempat keluarnya kotoran sebagaimana yang engkau sebutkan” (Istiftaa’aat As-Sistani hal. 224)

Pendapat nyaris serupa dikemukakan oleh tokoh revolusi Syi'ah Iran, Ruhullah Khomeini. Menurut Khomeini hukum asal mendubur istri Syi'ah adalah boleh walaupun dibenci. Khomeini berkata:

Baca artikel  selengkapnya di PERBEDAAN SUNI DAN SYIAH tafhadol
“Pendapat yang masyhur lagi kuat adalah bolehnya menyetubuhi istri pada duburnya namun sangat dibenci” (Tahrir al-Wasilah, hal 241, no. 11)

(*)keteranganSebuah anggapan tidak tepat, sebab lubang vagina perempuan yang menuju rahim sebenarnya berbeda dengan jalur kencing dari kandung kemih

SumberMuhammad Abdurrahman Al Amiry, LPPI Makassar
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: